Rabu, 02 Juni 2010

BUNGA RAMPAI CARPON

Anting Perak
Sebuah bunga rampai “carita pondok” (cerita pendek) yang diterbitkan di Bandung oleh Sargani tahun 1966, dan terdiri atas 116 halaman. Buku ini merupakan terbitan pertama penerbit itu, mendahului dua bunga rampai lainnya, ayitu “Demi Pasukan” dan “Carecet Sulam”.
Anting Perak disuntuing oleh sebuah dewan redaksi yang terdiri atas Saini Karnamisastra, Enoh Atmadibrata dan Djadja Sargani. Mereka mengemukakan bahwa acuan pemilihan cerita pendek dalam antologi ini ialah keragaman selera. Bunga rampai ini berisi sembilan buah cerita pendek, tiga diantaranya adalah terjemahan karya Leo Tolstoy yang diterjemahkan oleh Rachmat M. Sas; karya Rabindranath Tagore dan karya Ryonosuke Akutagawa diterjemahkan oleh Satibi Karnamisastra.
Keenam cerita pendek asli itu berjudul “Tamu ti Birma” karangan Saini KM, “Kiai Modern” karya SA Hikmat; “Balebat Harepan” karya AHS Armin Asdi; “Anting Perak” karya Naneng Danengsih, “Kumbakarna” karya Saleh Danasasmita, dan “Dehem” karya Wahyu Wibisana.
Cerita pendek yang terkumpul dalam antologi ini pernah dimuat di majalah-majalah. Cerpen Kiai Modern pada majalah Mangle, VIII (90) Maret 1965. Cerpen Anting Perak dimuat dalam Majalah Sunda, I (34) 15 Nopember 1965.


Basisir Langit
Sebuah kumpulan sajak karya Surachman R.M. diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Balai Pustaka tahun 1976 dan tebal 44 halaman. Buku itu berisi 29 buah sajak, sebagian pernah dimuat dalam majalah. Buku ini merupakan antologi kedua penyair Surachman. Kumpulannya berjudul Surat Kayas.


Carecet Sulam
Sebuah kumpulan carita pondok yang diterbitkan di Bandung oleh penerbit Sargani, tahun 1966 dan tebal 54 halaman. Buku ini merupakan bunga rampai ketiga terbitan Sargani, mengikuti dua pendahulunya, yaitu  Anting Perak dan Demi Pasukan. Penyuntingan antologi oni dilakukan oleh dewan Redaksi yang terdiri dari Saini Karnasasmita, Enoh Atmadibrata, dan Djadja Sargani.
Di dalamnya terdapat lima buah ceritera pendek, tiga buah diantaranya merupakan terjemahan, berturut-turut cerita pendek karya Lin Yutang yang diterjemahkan oleh Satibi Karnamisastra dengan judul “Jenderal Daging Anjing”, sebuah karya W.S. Rendra yang berjudul “Herjan” diterjemahkan oleh Satibi Karnamisastra dan karya Milovan Jilas berjudul “Peuntaseun Walungan Gede” yang diterjemahkan oleh P. Afiatin dari judul asli The Execution.


Carita Biasa
Sebuah kumpulan carita pondok karangan R.A.F. (Rahmatullah Ading Affandie) yang diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka pada tahun 1959, dan tebal 119 halaman. Buku ini merupakan kumpulan ceritera pendek yang kedua dalam sastra Sunda setelah “Dogdog Pangrewong
Di dalamnya terkumpul tujuh buah ceritera pendek, yang pernah dimuat sebelumnya dalam majalah Ajip Rosidi (1966: 112 – 114); 1970: 10 – 11) membicarakan pemakaian bahasa, tema serta mutu cerpen-cerpen yang dimuat dalam kumpulan ini.
Dua buah cerpen yang berjudul “Bapa Kuring Mata-mata Musuh” (Bapaku mata-mata musuh) dan “Kuring Datang Menta Hukuman’ (Aku datang meminta hukuman), merupakan percikan-percikan peristiwa tragis semasa revolusi kemerdekaan. Kedua ceritera ini pernah dimuat berturut-turut dalam majalah “Sunda” II (13 dan 15), Mei 1953.


Demi Pasukan
Sebuah bunga rampai cerita pendek diterbitkan di Bandung oleh penerbit Sargani, tahun 1966 dan tebal 94 halaman. Penyuntingan antologi ini dikerjakan oleh sebuah dewan redaksi yang terdiri dari Saini Karnamisastra, Enoh Atmadibrata dan Djadja Sargani.
Dalam buku ini dimuat enam ceritera pendek, terdiri dari tiga buah karangan asli dan tiga buah ceritera pendek terjemahan. Ketiga ceritera oendek asli itu belum pernah dimuat sebelumnya, yaitu “Si Kabayan” karangan Min Resmana, “Bangsat” (pencuri) karangan Sanaya, dan “Kasambet” (kemasukan roh halus) karangan Ahmad Bakri. Ketiga cerita pendek terjemahan ialah “Kaasih Indung” (kasih sayang ibu) karangan Premchan (India) diterjemahkan oleh Noh AtmadibrataB, Disaksian Ku Bangawan (disaksikan oleh Begawan) karangan Nugroho Notosusanto, diterjemahkan oleh AHS Asdi dan iPesta Maut” karangan Cevdet Kudret (Turki), tanpa disebutkan siapa penterjemahnya. Ceritera pendek Kudret ini tampaknya sangat disukai karena pernah pula diterjemakan oleh penulis lain, yaitu Duduh Durahman dan Iskandarwassid.
Dalam kata pengantarnya, redaksi mengemukakan bahwa patokan pemilihan cerite pendek dalam bunga rampai ini bukan mutunya, melainkan selera masyarakat yang diduga bermasam-macam. Buku ini merupakan terbitan kedua dari tiga bua bunga rampai cerita pendek yang pernah diterbitkan Sargani. Dua yang lain ialah  “Anting Perak”  dan “Carecet Sulam”.


Dogdog Pangrewong
Sebuah kumpulan ceritera pendek karya GS. Menurut R. Ero Bratakusumah, seorang redaktur Sunda di Balai Pustaka yang paling lama bertugas, GS ialah inisial dari G. Suwandakusuma yang konon pernah jadi wedana. Menurut M.A. Salmun (1958) singkatan itu berasal dari G. Sastradiredja. Sampai sekarang belum dapat dipastikan siapa sesungguhnya pengarang buku ini, sekalipun keterangan pertama lebih cenderung untuk dipercayi karena melihat isi ceritera kumpulan ini diantaranya ada yang berlatar lingkungan kewedanaan.
Buku ini terbit di Jakarta, oleh Balai Pustaka, tahun 1930, dan tebal 115 halaman. Cetakan kedua diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, tahun 1979. cetakan ketiga diterbitkan di Bandung oleh penerbit Rahmat Cijulang, tahun 1984, dan tebal 148 halaman.
Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang pertama dalam sastra Suda, juga di Indonesia. Di dalamnya terkumpul 7 buah ceritera, berturut-turut: “Lembu, Dua Paraji, Jin, Salah Pok, Angeun Lekoh, Soang, Guguyon dina Bulan Puasa”
Cerita-ceritanya mengandung lelucon sehingga buku ini dapat dipandang sebagai petunjuk terjadinya peralihan cerita pendek yang kita kenal sekarang. Oleh karena isinya seperti itu. GS menganggap bukunya ini hanya sebagai penghibur. Judul Dogdog Pangrewong telah mencerminkan hal itu karena ungkapan itu berarti penganggu kepada orang yang sedang asyik atau penyela dalam keseriusan.
Kemahiran GS dalam mengarang telah berhasil mengangkat ceritera-ceritera lucu itu ke dalam ceritera pendek yang sesungguhnya. Menurut Ajip Rosidi (1964; 1983) GS telah melanjutkan tradisi lelucon dalam sastra Sunda serta memulai menggunakan bentuk karangan baru, yaitu ceritera pendek dengan menggunakan dasar-dasar modern dalam hal komposisi dan psikologi.
Ceritera “Dua Paraji” telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian diantologikan oleh Ajip Rosidi (1970).


Eulis Acih
Sebuah novel karangan Yuhana, diterbitkan di Bandung oleh penerbit Dakhlan Bekti tahun 1923 dalam 3 jilid.
Novel ini menceritakan seorang janda muda yang kaya, tetapi angkuh bernama Eulis Acih. Seorang lelaki, bernama Arsad, yang mengaku saudagar mas dan berlian menikahinya, tetapi kemudian menipunya. Semua uang hasil penjualan harta benda perempuan itu dilarikannya. Dalam keadaan miskin dan hamil, Eulis Acih dipelihara oleh paman dan bibinya yang sebenarnya pernah disakiti hatinya oleh Eulis Acih. Dalam pelarian Arsad pun ditipu orang sehingga jatuh miskin, tetapi berangsur-angsur kembali hidup senang sebagai mandor di Tanjungpriok. Anak Eulis Acih, yang kelak sesat ke Jakarta, menjadi jalan pertemuan kembali kedua suami istri itu.
Ajip Rosidi (1966;1983) dan Tini Kartini serta kawan-kawan (1979) membicarakan karangan-karangan Yuhana secara keseluruhan.


Genjlong Garut
Buku ini karangan Muhamad Sanusi yang terbit pada tahun 1920. ceritera ditulis berupa Wawacan. Isinya menceritakan pemberontakan Haji Hasan di Cimareme Garut, terhadap pemerintah jajahan. Oleh karena isinya dianggap membahayakan, pemerintah Belanda lalu memenjarakan pengarangnya. Muhamad Sanusi adalah salah seorang pejuang kemerdekaan yang pernah dibuang ke Digul.


Graaf de Monte Cristo
Sebuah novel saduran dari sastra Perancis karya Alexander Dumas yang berjudul Graaf de Monte Cristo. Saduran dikerjakan oleh R. Satjadibrata; diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka tahun 1928. buku ini terdiri atas 6 jilid; jilid pertama tebalnaya 88 halaman, jilid kedua tebalnya 102 halaman, jilid ketiga tebalnya 106 halaman, jilid keempat tebalnya 130 halaman, jilid kelima tebalnya 116 halaman, dan jilid keenam tebalnya 107 halaman.


Hujan Munggaran
Sebuah kumpulan ceritera pendek karangan Ayatrohaedi. Diterbitkan di Jakarta oleh penerbit balai Pustaka tahun 1960, dan tebal 76 halaman. Dalam buku ini terkumpul enam buah ceritera pendek yang ditulis pengarangnya pada tahun 1957. Keenam cerpen ini ditulis di Jakarta. Namun, Latar peristiwa (ceritera) hampir dapat dipastikan adalah kota kelahiran pengarang sendiri (Jatiwangi). Hal ini lebih jelas apabila dihubungkan dengan catatan pengarang di halaman muka yang berbunyi, Minangka pamulang tarima ka Jatiwangi”. (Sebagai balas budi kepada Jatiwangi).
Keenam cerita pendek itu berturut-turut ialah: “Gorombolan, Bulan Ngempur, Hujan Munggaran, Nu Lleuwih Penting, Cengcelengan, dan Wartawan”.
Cerita pendek Hujan Munggaran menceritakan pertemuan aku dengan Sri yang pernah bersama-sama sekolah di Jakarta. Gadis sri memanggilnya untuk singgah ketika aku basah kuyup diguyur hujan pertama di musim kemarau itu. Harapan yang sudah lama terpendam pun muncul kembali karena semasa sekolah di Jakarta aku secara diam-diam sudah mulai menaruh hati kepada gadis itu. Namun, waktu itu Sri terlanjur cepat pindah ke Bandung karena rupanya tidak senang akan gangguan teman sekelasnya yang bernama Sidik. Pertemuan sekarang telah membuka harapan baru sekalipun aku belum juga kuasa menyampaikan bisikan hatinya. Pada waktu aku pamitan pulang, Sri menyerahkan sebuah amplop yang makin menghangatkan gejolak hatinya. Akan tetapi bukan main kecewanya setelah aku mengetahui bahwa amplop itu sebenarnya berisi surat undangan pernikahan Sri dengan Sidik, pemuda yang dulu sering mengganggunya itu.
Cerpen Gorombolan adalah lukisan demam kekhawatiran masyarakat akan gangguan gerombolan, sampai-sampai terjadi salah tangkap. Cerpen Nu Leuwih Penting, tentang ayahku yang tidak kuasa menolak setiap permintaan istrinya yang kedua, dan cerpen Wartawan yang menceritakan seorang wartawan yang selalu bertingkah dengan pekerjaannya itu.


Jagar Alit
Sebuah kumpulan sajak karya Godi Suwarna, diterbitkan di Bandung oleh penerbit Rahmat Cijulang, tahun 1979, dan tebal 58 halaman. Dalam buku ini terkumpul 58 buah sajak.
Judul buku diambil dari sajak pertama Jagat Alit. Sajak ini berisi tentang lakon kehidupan manusia di dunia, yang demikian singkat penuh ketidakberdayaan, dan hanya menunggu sang waktu. Lakon apa pun yang akan terjadi semata-mata karena kehendak Yang Maha Kuasa jua; perilaku wayang yang diibaratkannya sehingga akan mengingatkan kita akan babasan (peribahasa) orang Sunda yang mengatakan bahwa hidup ini hanya darma wawayangan (sekedar berperan sebagai wayang). Hidup dan kumelendang (berkeliaran) di dunia hanya sebelum ajal datang menjemput.
Penempatan sajak ini di urutan pertama merupakan kakawen (prolog) dalam seluruh isi kumpulan karena hampir seluruhnya amat jelas menyenandungkan makna hidup. Apalagi kalau dihubungkan sajak terakhir berjudul “Asmarandana” yang menyatakan bahwa telah tamatlah kumelendang selama “semalam”, dan kita akan kembali ketempat kita berasal.


Jante Arkidam
Sebuah kumpulan sajak karya Ajip Rosidi, diterbitkan di Jatiwangi Cirebon oleh penerbit Cupumanik tahun 1967, dan tebal 44 halaman. Di dalamnya terkumpul 22 buah sajak yang ditulis oleh pengarangnya antara tahun 1957 – 1967, dimuat secara kronologis, serta sebelum dibukukan pernah dimuat dalam majalah-majalah.sajak-sajak itu ditulis di Jatiwangi, Jakarta, Sumedang dan Bandung.
Judul buku diambil dari judul sajak pertama, yaitu “Jante Arkidan” sebuah sajak epik (balada) tentang seorang jagoan, buronan polisi, yang bernama Jante Arkidam, yang rupanya diangkat dari khasanah critera rakyat. Sajak ini pernah ditulis pula oleh pengarangnya dalam bahasa Indonesia, dimuat dalam kumpulan Cari Muatan (1959), serta telah dibicarakan secara panjang lebar oleh A. Teeuw (1980: 41 – 59).
Dua buah sajak lain menunjukan gaya penulisan yang hampir sama dengan “jante Arkidam” yaitu “Bendara Ikin” dan “Bagus Rangin”. Sajak Bendara Ikin berisi tentang orang yangmelecehkan bangsa sendiri, merasa berkuasa karena hidupnya bersandar kepada pihak yang sedang berkuasa. Sajak Bagus Rangin , menceritakan kepahlawanan Bagus Rangin, tokoh pahlawan rakyat yang legendaris-historis yang memberontak pada pemerintahan Belanda dan kesewenang-wenangan orang-orang Cina di Jatitujuh. Oleh karena peristiwa itu belum terungkap dalam sejarah, pengarang merasa perlu mengawali sajak itu dengan sebuah pengantar. Kedua sajak ini merupakan karya yang ditulis leih kemudian, yaitu tahun 1965, dan pernah dimuat di Mingguan Sunda 1 (5 dan 2) Maret dan Juli 1965.
Tema keagamaan terkandung dalam dua buah prosa lirik yang berjudul “Anasir Jati’ dan Pareng Dina Hiji Poe. Dalam sajak yang disebut terakhir dilukiskan renungan-renungan menyelusuri teka-teki kekuasaan Yang Maha Kuasa, yang berakhir dengan timbulnya perasaan tenteram dalam diri.


Jurig
Kumpulan cerita pendek karangan Tini Kartini, diterbitkan di Bandung oleh penerbit Kiwari, tahun 1963, dan tebal 88 halaman. Cetakan kedua diterbitkan oleh penerbit Rahmat Cijulang di Bandung tahun 1983. dalam buku ini terkumpul sepuluh buah ceritera pendek yang ditulis antara tahun 1959 – 1961, sebagian ditulis di Tasikmalaya dan sebagian lagi di Bandung. Sebelum dibukukan, cerpen-cerpen itu sudah dimuat dalam majalah atau surat kabar. Ajip Rosidi (1966: 157 – 158; 1983: 193 -197) membicarakan dan menilai mutu cerpen-cerpen yang dimuat dalam kumpulan ini.
Sepuluh ceritera pendek itu berturut-turut ialah “Jurig” (1959), “Surat” (1959), “Ondangan” (1961), “Ngiuhan” (1961), “Emang jeung Embi” (1961), “Leungit” (1959), “Sial” (1959), “Study Club” (1960) dan “Di Lembur” (1961)
Cerita pendek pertama Jurig (Setan) menceritakan seorang permpuan bernama Nyi Iyot yang terpaksa menyingkir karena menurut pengakuannya, suaminya direbut perempuan lain. Ia dikisahkan baru menempati sebuah rumah sewa yang sudah lama dikosongkan karena konon ada hantunya.
Kehidupan janda itu makin lama makin jadi perhatian tetangga-tetangganya karena bicara dan kelakuannya yang aneh-aneh. akhirnya diketahui bahwa sesungguhnya ia berubah ingatan. Tidak dapat dipastikan apakah penyakit yang dideritanya itu karena gangguan setan atau karena kepedihan hatinya sendiri akibat suaminya direbut orang.



Katineung Kuring
Sebuah bunga rampai yang ditulis oleh Rusman Sutiasumarga. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Balai Pustaka tahun 1966, dan tebal 96 halaman.
Dalam bunga rampai ini terkumpul 11 buah sajak, 14 buah guguritan pendek, dan 7 buah artikel kesastraan dalam bentuk surat kepada teman-teman pengarang yang sastrawan atau seniman. Karangan-karangan itu bertitimangsa tahun 1955 – 1960. hampir seluruhnya pernah dimuat dalam harian Sipatahunan, Pangegar dan Candra.
Pengarang yang mengaku dirinya sentimentil dan romantis tercermin dalam sajak-sajak dan guguritan-nya,  terasa akrab dengan alam dan kehidupan di pesisian. Dalam surat-suratnya yang bersifat pribadi terdapat catatan tentang peristiwa-peristiwa penting dalam perkembangan kegiatan sastra Sunda.
Berdasarkan titimangsanya, naskah bunga rampai ini rupanya sudah siap sejak Mei 1961.


Mikung
Novel karangan Abdullah Mustappa, diterbitkan oleh Pustaka Dasentra di Bandung tahun 1983. buku ini berukuran 18 cm x 12 cm, tebal 92 halaman.
Dalam novel ini pengarang mengemukakan masalah ajaran moral dan pendidikan. Mikung itu serba tanggung; ke manapun tiada yang tuntas, baik jadi mahasiswa, jadi wartawan, maupun mencintai Lia, tidak ada yang lanjut. Novel ini menggambarkan kehidupan pers yang dipadukan dengan kehidupan jamannya.
Kusndai tidak mempunyai motivasi dalam mendirikan surat kabar Mingguan Publik. Semula Kusnadi hanya ikut-ikutan Pepen pada surat kabar Mingguan Indonesia, tetapi lama-kelamaan Kusnadi menyenangi dan akhirnya menjadi wartawan Mingguan Publik sampai meninggalkan kuliah.
Wijaya yang mempunyai Mingguan Publik menceritakan pada Zulkarnaen bahwa Mingguan Publik akan ditutup karena rugi. Mira, Pepen, serta karyawan lainnya mempertahankan berdirinya Mingguan Publik melalui Zulkarnaen yang diberi kuasa Wijaya. Juga Kusnadi yang semula tidak mempunyai motivasi itu mempertahankannya.
Setelah Mingguan Publik ditutup, teman-teman Kusnadi mencari pekerjaan lain. Kusnadi sendiri belum dapat menentukan pendiriannya walaupun ada Lia yang mengharapkan cintanya, Kusnadi dingin-dingin saja. Kusnadi dengan Mira sebenarnya sudah saling mencintai, hanya Kusnadi tidak terus terang dan akhirnya Mira memilih Pepen.
Kusnadi akan ditolong Pepen dan Mira berhubungan dengan Lia. Kusnadi masih belum dapat menentukan pendiriannya, pekerjaan apa yang akan dilaksanakan setelah Mingguan Publik ditutup. Kusnadi serba tanggung, menjadi mahasiswa tidak selesai, menjadi wartawan juga tidak menentu, demikian juga cinta pada Lia tidak berani terus terang dan hanya tersimpan dalam hati.


Napsu nu Anom
Sebuah novel terjemahan dari sastra Indonesia karangan Adinegoro, Darah Muda (1972). Terjemahan dikerjakan oleh Moh. Ambri, diterbitkan di jakarta oleh Balai Pustaka tahun 1932, dan tebal 103 halaman.


Ngabuang Maneh
Sebuah novel pendek karangan Ki Umbara, diterbitkan di bandung oleh penerbit Mitra Kancana, tahun 1979 dan tebal 58 halaman. Sebelumnya novel ini pernah dimuat dalam majalah sebagai cerita bersambung.
Novel ini menceritakan dua orang gadis perawat yang masing-masing telah yatim piatu. Keduanya tinggal bersama di sebuah rumah sewa dan hidup sebagai sahabat yang sangat akrab sekalipun sikap hidup mereka agak berbeda. Mutiah (asal Banten) yang saleh dan taat pada agama akhirnya memperoleh kebahagiaan, sedangkan Gilang (asal Kuningan) membuang diri ke tanah seberang karena merasa malu akibat tingkah laku abngnya yang telah berbuat tidak senonoh terhadap seorang gadis, sementara ia sendiri mulai menyadari kebenaran agama.
Cerita ini mengambil latar kota Betawi (Jakarta pada masa dulu) sekalipun tempat itu terasa kurang melatarbelakangi ceritera ini.


Nu Mahal ti Batan Inten
Sebuah kumpulan sajak karya Yus Rusyana, diterbitkan di Bandung oleh penerbit Rahmat Cijulang tahun 1980, dan tebal 72 halaman.
Sjak yang terkumpul dalam buku ini sebanyak 70 buah, yang ditulis antara tahun 1959 – 1965. sebelum dibukukan, hampir seluruhnya pernah dimuat dalam majalah-majalah. Berdasarkan titimangsanya dapat diketahui bahwa sajak-sajak itu sebagian ditulis di Pameungpeuk, garut dan Bandung, sebagai tempat kelahiran dan tempat tinggal penyairnya. Sajak-sajak keagamaan dan kesejarahan cukup banyak dalam kumpulan ini.


Ombak Laut Kidul
Sebuah buku kumpulan sajak karya Rachmat M. Sas Karana, diterbitkan di Jatiwangi (Cirebon) oleh penerbit Cupumanik tahun 1966, dan tebal 30 halaman.
Isi buku ini terdiri atas 2 kumpulan, yaitu “Kacapi ‘na Peuting Sepi” dan “Ombak Laut Kidul”. Sajak-sajak yang terkumpul dalam buku ini ditulis antara tahun 1963 – 1966, sebelumnya telah dibuat dalam majalah.
Popo S. Iskandar (1966) membicarakan kumpulan sajak ini dan menilai penyairnya memiliki sifat inventif, kreatif, dan suka bereksprimen. Buku Ombak Laut Kidul mendapat hadiah sastra Piagem Ambri untuk sajak dari Paguyuban Pangarang Sastra Sunda.


Papacangan
Sebuah kumpulan cerpen karya Rusman Sutiasumarga, diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka tahun 1960 dan tebal 64 halaman.
Dalam kumpulan ini dimuat 5 buah cerita pendek, ditulis antara tahun 1956-1958, yang sebelum dibukukan pernah dimuat dalam majalah. Kelima cerita pendek itu ialah: “Papacangan, Nu garering Pikir, Ati, Bapa Kuring Pangsiunan, dan Kongkorong”.
Cerpen “Papacangan” menceritakan seorang guru pendiam, teman “aku” bekerja, yang tanpa disangka melakukan pertunangan dengan seorang muridnya. Cerpen ini pernah dimuat dalam majalah “Kiwari”, I (2), Juli 1957. Cerpen “Nu Garering Pikir” menceritakan pertemuan “aku” dengan dua orang perempuan di tempat pertunjukan wayang golek. Wanita pertama sakit ingatan, wanita kedua seorang pelacur, kedua-duanya disebabkan oleh sakit hati. Cerpen ini pernah dimuat dalam majalah “Panghegar” (1956) dan majalah “Candra”. Cerpen “Ati” adalah kisah cinta yang lembut, pernah dimuat dalam majalah Kiwari 1 (7/8), Desember 1957 dan Januari 1958. Cerpen “Bapa Kuring Pangsiunan” menceritakan ayah “aku”  yang merasa lebih tenteram untuk segera mengambil pensiun, sedangkan cerpen “Kongkorong” menceritakan seorang pegawai negeri yang berupaya menentramkan istrinya yang selalu memimpikan berkalung emas di hari lebaran.
Peristiwa-peristiwa ringan dalam cerpen-cerpen ini mendapat pengolahan yang lunak sehingga memancarkan kesegaran, tetapi kadang-kadang terbersit sindiran-sindiran halus. Oleh karena cerpen-cerpennya ini, pada tahun 1957, Rusman Sutiasumarga mendapat Hadiah Sastra Sunda dari Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS, yang berkedudukan di Bandung).


Pelet
Kumpulan cerita pendek yang terbit secara seri sehingga tampaknya seperti majalah; apalagi diantara cerpen-cerpen itu dimuat pula lelucon-lelucon pendek, cerita bersambung, dan esai sastra. Meskipun demikian, reaksinya menyatakan bahwa Pelet bukan majalah karena tidak akan memenuhi syarat-syarat permajalahan. Redaktur seri kumpulan ceritera pendek ini ialah Ki Umbara dan Ermas (kedua-duanya nama samaran)
Setiap nomor kumpulan rata-rata terdiri atas 36 halaman, memuat empat sampai enam judul ceritera. Diterbitkan di Bandung oleh penerbit Pusaka Sunda, selama lebih kurang dua tahun, sejak tahun 1966.
Para penulis yang pernah dimuat karangannya dalam seri kumpulan ini antara lain: Adang S, Aam Amilia, Achmad Bakri, Abdullah Yusuf, Abdullah D, Achmad Rustandi, Budhi Darma, Dudu Prawiraatmadja, Ermas, Duduh Durahman, M.A. Salmun, Ki Umbara, Saini KM, Kurdi Natamihardja, Suhana Darmatin, Us Tiarsa R, Wahyu Wibisana, Yus Rusamsi, Rukmana Hs, Naneng Danengsih, S.A. Hikmat, Ningrum Djulaeha, Hayati, Muh. Hidayat, Jus kelana Djaja, dan Odji Setiadji A.R..


Petingan
Sebuah kumpulan cerita pendek yang dipilih oleh Duduh Durahman. Buku ini diterbitkan di Bandung oleh penerbit Pustaka Dasentra tahu 1983 dan tebal 139 halaman.
Di dalamnya terkumpul sepuluh buah cerita pendek dari sepuluh orang pengarang, yaitu: Tibelat karya Moh. Ambri, Hampura karya I. Asikin, Piring Dinasti Ming karya Kis. Ws, Buleudan Setan  karya May. Aki Warung karya Wahyu Wibisana, Rojali bin Haji Sanip karya Eson Sumardi, Itu Gunung ieu Gunung karya Min Resmana,  Sedepmalem ti Parongpong karya Ami Raksanagara, Kedok karya Anna Mustikaati dan Rama jeung Sinta karya Sukaesih Sastrini. Ketiga pengarang yang disebut terakhir adalah pengarang wanita.
Hampir seluruh cerita pendek yang dikumpulkan ini sebelumnya pernah dimuat dalam majalah Mangle antara 1979 – 1983. cerpen yang sengaja untuk kumpulan ini ialah Rojali bin Haji Sanip karangan Eson Sumardi. Pada bagian akhir buku terdapat biodata pengarang.
Setiap ceritera pendek mendapat pembicaraan kritik dari penyuntingnya. Dalam pengantarnya, penyunting mengemukakan pertanggungjawaban mengapa pemilihan cerpen untuk kumpulan ini akhirnya hanya dari pengarang senior, yang sudah amat dikenal. Pemilihan cerpen-cerpen yang memiliki struktur konvensional ini diharapkan dapat membantu orang-orang yang baru siap hendak memasuki dunia sastra Sunda. Teknik bercerita dan isi karangan merupakan segi-segi yang sangat diperhatikan dalam memilih cerpen untuk kumpulan ini.


Puputon
Sebuah novel yang judulnya berarti “buah hati” karangan Aam Amalia (wanita). Buku ini diterbitkan di Bandung oleh penerbit Mitra Kancana, (tanpa rahun), dan tebal 123 halaman.
Novel ini menceritakan seorang suami, bernama Ismet, yang menikah lagi dengan seorang gadis, bernama Mamay, tnpa setahu istrinya yang pertama. Ia berbuat demikian karena dari istrinya yang pertama, bernama Astri, tidak memperoleh anak. Setelah melahirkan, Mamay mendadak minta diceraikan, karena perasaan berdosa kepada sesama wanita, makin dalam menuduh dirinya. Ketika Ismet kembali kepada istrinya yang pertama, wanita ini pun menolaknya karena ia tidak mau memperoleh kembali kebahagiaan di atas kehancuran hati wanita lain, yang pernah berbahagia dengan suaminya itu, serta telah mempunyai anak pula.


Salah Atikan
Sebuah novel terjemahan dari sastra Indonesia karya Abdul Muis “Salah Asuhan” (1928). Terjemahan dikerjakan oleh R. Satjadibrata, diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka tahun 1940.


Sawidak Carita Pondok
Sebuah bunga rampai ceritera pendek yang disunting oleh Abdullah Mustappa, Karno Kartadibrata dan Duduh Durahman. Buku ini diterbitkan di Bandung oleh Mangle Panglipur tahun 1983, dan tebal 409 halaman. Penerbitan buku ini dalam rangka ulang tahun ke-25 majalah Mangle.
Dalam bunga rampai ini terkumpul enam puluh (sawidak) buah ceritera pendek yang dipilih dari sekian banyak ceritera pendek yang pernah dimuat dalam majalah Mangle. Urutan penyusunannya berdasarkan kronologi sehingga dapat dicatat bahwa karya yang terkumpul dalam antologi ini ditulis antara tahun 1963 – 1982. Di tengah para pengarang yang kebanyakan masih berusia muda terdapat pula beberapa mengarang yang telah agak lanjut usianya (pada bagian akhir dimuat biografi pengarang) serta yang telah aktif menulis sejak masa sebelum Perang Dunia II.
Dari tangan seorang pengarang kadang-kadang dimuat lebih dari sebuah ceritera pendek sehingga banyaknya pengarang yang karyanya termuat dalam bunga rampai ini berjumlah 56 pengarang, 5 orang di antaranya pengarang wanita.
Dari keenam puluh ceritera pendek itu, 10 di antaranya pernah memperoleh hadiah sastra, baik hadiah sastra Mangle, Sayembara Ngarang Carita Pondok Mangle (tahun 1979), maupun hadiah sastra dari Paguyuban Pangarang Sastra Sunda (PP-SS) yaitu “Kasilib” karya Ki Umbara, Gotong Royong karya Caraka, Handapeun Dapuran Awi karya Syarif Amin, Di Cindulang Aya Kembang karya Aam Amilia, Saliara Sisi Jami karya Saleh Danasasmita, Nu Butuh ku Pamuntangan karya I. Asikin, Hariring ti Lamping Pasir karya Sum Darsono, Nu Ngalantung di Buruan karya A. Kohar, Panto karya Trisna Mansur, dan Loceng Gareja Bercolli karya Adang S.
Sebuah ceritera pendek dalam kumpulan ini pernah diterjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ayip Rosidi (1970) dimuat dalam majalah Horison dan kemudian diantologikan. Cerita pendek itu berjudul Sripanggung Doger Karawang karya Iskandarwassid.
Keanekaragaman tema dan kualitas dalam bunga rampai ini amat berharga untuk meneropong perkembangan cerpen Sunda pada periode itu.


Surat Kayas
Sebuah kumpulan sejak karya Surachman R.M., diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Balai Pustaka, tahun 1967, dan tebal 51 halaman. Di dalamnya terkumpul 34 buah sajak, sebuah di antaranya berjudul “Surat Kayas” yang kemudian dijadikan judul kumpulan ini. sajak-sajak dalam kumpulan ini ditulis oleh pengarang ntara tahun 1953 – 1962, yang sebelumnya pernah dimuat dalam majalah.
Sebagian besar sajak memperlihatkan kekayaan penyairnya akan latar belakang alam, seperti laut, gunung, bulan, angin dan dedaunan, sejarah serta ceritera sasakala.


Tepung di Bandung
Sebuah kumpulan sajak-sajak karya Rachmat M. Sas Karana, diterbitkan di Bandung oleh penerbit Mitra tahun 1972, dan tebal 46 halaman.
Dalam buku ini terkumpul 30 buah sajak yang dibagi atas 2 bagian, yaitu Katineung keur Nandang dan Tepung di Bandung, tentang sepasang remaja yang telah bertemu hati, hanya tinggal menunggu perkenan Tuhan.
Dari titimangsa diketahui bahwa sajak-sajak yang terkumpul dalam buku ini ditulis antara tahun 1963 – 1965. Sebagian ditulis di Bandung, sebagian lagi ditulis di Pangandaran serta sebelum dibukukan pernah dimuat dalam majalah.


Teu Pegat Asih
Sebuah novel terjemahan dari sastra Indonesia karya Suman Hs. Kasih tak terlarai (1929). Terjemahan dikerjakan oleh Moh. Ambri, diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka tahun 1923, dan tebal 66 halaman.


Waruga Guru
Sebuah naskah yang berasal dari kabuyutan Kawali, Ciamis, dan pernah disalin dan dimuat pada penerbitan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kemudian dimuat lagi dalam majalah Poesaka Soenda nomer 9, tahun 1923. naskah asli ditulis dengan mempergunakan huruf Sunda kuno, berjumlah 24 halaman.
Apabila dibandingkan dengan Bahasa Sunda yang ada pada naskah Carita Parahiyangan (1579) atau Siksa kandang Karesian (1518), baik struktur kalimatnya maupun kosa katanya, bahasa Sunda yang ada pada Carita Waruga Guru banyak persamaannya dengan kedua naskah itu. Namun, apabila diperhatikan istrinya, dapatlah dipastikan bahwa pembuatan naskah itu lebih kemudian karena kadar pengaruh Islam di dalamnya sudah lebih besar daripada yang ada dalam Carita Parahiyangan.
Isi naskah itu pada pokoknya, ialah (1) silsilah Ratu Galuh sejak Nabi Adam; (2) peristiwa banjir, Nabi Enoh membuat perahu dan ratu Prewata sari membuat gunung di Nusa Jawa; (3) orang Nusa jawa menyembah baitullah setelah malaikat meruntuhkan gunung yang semula disembah oleh orang Jawa; (4) Ajar Suka Resi di Gunung Padang yang meramal kelahiran putra prameswari (yang pura-pura mengandung) dimarahi oleh raja; (5) kelahiran hariang banga; (6) malapetaka di Galuh dapat diatasi berkat daun reundeui yang dimakan oleh raja pemberian Ajar Suka Resi, tetapi raja menghukum Ajar itu karena memberi reundeu sisa orang lain; (7) prameswari kedua mengandung, kemudian melahirkan seorang putra yang dibuang ke Sungai Citanduy dalam kandaga (semacam peti tempat menyimpan perhiasan); (8) bayi dalam kandaga dipungut Aki dan Nini Balangantrang, kemudian diberi nama Ciung Manarah; (9) Ciung Manarah mempunyai ayam jantan yang bernama Singarat Tarajang; (10) Ciung Manarah pergi ke ibu kota kerajaan untuk bersabung ayam dengan raja; Ciung Manarah menerangkan bahwa ia adalah anak raja, kemudian ia minta diwariskan negara; permintaannya itu dikabulkan dan kemudian ia menjadi raja membawahi nusa yang banyaknya tigapuluh tiga; (11) Ciung manarah membuat konjara wesi (penjara besi), raja dipenjara oleh Ciung Manarah, sehingga Hariang banga marah; (12) Ciung Manarah perang dengan hariang Banga; (13) terjadinya Majapahit dan Pakwan Pajajaran; (14) silsilah keturunan Ciung Manarah dan Hariang Banga, masing-masing sampai dengan Siliwangi dan Susunan Mangkurat yang berlanjut sampai pangeran Dipati.


PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986

ARJUNA SASRABAHU

Berbeda dengan Mahabarata  dan Ramayana, ceritera Arjuna Sasrabahu belum ada yang ditulis dalam bentuk Wawacan. Dalam pertunjukan wayang pun lakon ini jarang dipentaskan.
J.Kats pada Poesaka Soenda I (12), II (2) 1923, memuat ringkasan ceritera ini pada seri bahasannya mengenai wayang. Kemudian M.A. Salmun dalam Padalangan, 1961 memuat hanya ringkasannya saja.
Arjuna Sasrabahu (biasa pula ditulis Arjuna Sasrabau dan disingkat Arjuna Sasra sebagai tokoh protagonis, titisan Wisnu, melawan Rawana (di Jawa Barat disebut Rahwana) sebagai tokoh antagonis. Oleh karena Arjuna Sasra, titisan Wisnu, maka permaisurinya pun harus titisan Dewi Sri. Titisan Dewi Sri itu lahir di Magada dalam diri Dewi Citrawati, yang kemudian dilamar dan diperistri oleh Arjuna Sasra.
Rahwana sejak lama mendambakan titisan Dewi Sari karena tidak terlaksana mengawini Widawati (titisan Dewi Sri yang ditemui di kawasan Lokapala). Ketika Rahwana mengetahui bahwa Arjuna Sasra melamar Dewi Citrawati ia merasa terhina sehingga terjadilah peperngan antara Rahwana dengan Arjuna sasrabahu. Dalam peperangan itu Rahwana kalah, tetapi Arjuna Sasra tidak membunuhnya, bahkan memaafkannya. Rahwana diperbolehkan pulang kembali ke negaranya Alengka.
Dendam kesumat Rahwana timbul lagi sehingga tidak lama kemudian ia kembali memerangi Arjuna Sasrabahu. Dalam peperangan yang kedua kalinya ini Arjuna Sasrabahu gugur.
Begitulah ringkasan lakon Arjuna Sasrabahu. Lakin ini sebenarnya panjang sekali, tetapi kebanyakan mengisahkan Rahwana di samping banyak lagi sempalan (bagian lakon) yang mengisahkan tokoh lain. Misalnya Gotama dan putera-puteranya, Subali, Sugriwa dan Anjani. Wisrawana yang diperangi Rahwana, dan Somantri yang mengabdi kepada Arjuna Sasra, dan adiknya Sumantri, Suksrana, yang memindahkan taman Sriwedari


PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986

BENTANG PASANTREN

Novel karangan Usep Romli H.M. diterbitkan oleh Pusaka Dasentra tahun 1983. buku ini berukuran 18 x 12 cm, dengan tebal 72 halaman.
Dalam novel ini pengarang mengemukakan masalah ajaran moral, dan pendidikan. Motivasi dari orang tua, keluarga, dan teman sangat besar pengaruhnya dalam menggapai cita-cita. Belajar akan berhasil apabila disertai dengan tekun. Percintaan merupakan unsur penunjang dalam mencapai tujuan. Novel ini menggambarkan kehidupan santri di lingkungan pesantren.

Ringkasan Ceritera
Aep jatuh cinta pada Imas Patonah anak Abuya yang baru pulang qiro’at, Aep dapat bertemu dengan Imas karena Aep, setelah tamat SLP, dimasukkan pesantren yang diiring dengan doa dari orang tuanya serta pamannya untuk meneruskan jejak kakeknya.
Yang mencintai Imas bukan Aep saja, tetapi lurah santri dan para santri senior pun sama-sama mencintainya. Akhirnya terjadi perang dingin memperebutkan cinta Imas.
Imas berwudu dan bertemu dengan Aep, Imas lari, akibatnya jatuh di pinggir rumah, sandal Imas tertinggal dan tidak sempat diambilnya. Imas terus pulang. Sandal Imas diambil Aep untuk dikembalikan.
Aep mendapat hukuman karena melanggar peraturan, yaitu meninggalkan mengaji dan salat berjamaah sewaktu mau bertemu dengan Imas di Ciporang. Hukumannya bertambah berat karena bertemu Imas ketika berwudu dan menempeleng Si Jumad karena menyindir kehilangan sandal.
Aep mengembalikan sandal dan mengirim surat pada Imas serta mendapat jawaban. Aep mendapat hukuman; kepalanya digunduli sebelah. Hukuman itu tidak menyebabkan Aep menjadi putus asa, melainkan dijadikan cambuk semangat belajar, apalagi setelah mendapat surat dari ayahnya dan pepatah dari pamannya, serta sahabatnya Padil dan juga Imas. Aep semakin rajin mengaji serta privat ngaji pada Abuya (kiai).
Ketika liburan mengaji, Aep pergi bermain ke kampung padil. Di perjalanan ia bertemu Imas, yang secara tidak sengaja mempunyai tujuan yang sama dengan temannya. Dalam perjalanan itu Aep dan Imas dapat berpadu janji hidup bersama, tetapi setelah sama-sama menyeleseaikan ngaji.

PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986

BUDAK MINGGAT

Novel karangan Samsudi, cetakan pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, tanpa tahun. Cetakan kedua diterbitkan oleh Pusaka Sunda bandung tahun 1965. buku ini trdiri atas dua jilid, masing-masing tebalnya 70 dan 75 halaman, berukuran 17 x 12 cm.
Novel ini mengungkapkan nilai-nilai pendidikan, seperti kejujuran, keteguhan hati, dan kesetiaaan. Dalam buku ini diungkapkan pula nilai-nilai sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat kuli perkebunan pada jaman penjajahan Belanda. Si Kampeng pelaku utama dalam novel ini, oleh pengarang digambarkan seadanya tanpa dibuat-buat, sehingga sosok peribadinya muncul secara lengkap, baik kejujurannya maupun kenakalannya.

Ringkasan Ceritera
Seorang anak Si Kampeng namanya, berusia 16 tahun. Ayahnya telah tiada. Ia berada di bawah asuhan ayah tirinya.
Ayah titinya sering menasehati dan memarahi Si Kampeng karena Kampeng terlalu senang bermain dan lupa membantu ayah tirinya yang pemarah.
Pada suatu senja. Kampeng disuruh oleh ayah tirinya membeli tembakau dengan dibekali uang satu rupiah. Pada saat ia akan membayarkannya, uang itu hilang. Ia pulang ke rumah tanpa tembakau. Marah ayah tirinya menjadi-jadi, meskipun ibunya turut membela Kampeng. Sebuah tamparan mendarat di pipi ibu Kampeng, ketika tamparan kedua akan mendarat di pipi ibu Kampeng, ia mencegahnya karena tidak tega melihat ibunya teraniaya. Ia menerjang tulang rusuk ayah tirinya. Darah pun muncrat dari kepala ayah tirinya yang luka membentur tiang. Kampeng kaget dan ketakutan, pikirannya kalut dan bingung, tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Kemudian Kampeng pun larilah, minggat tanpa tujuan.
Dalam perjalanan minggatnya, Si kapeng ditipu orang. Ia terjual ke Deli, menjadi kuli perkebunan. Akan tetapi karena usia Kampeng masih terlalu muda, dia tidak jadi dipekerjakan sebagai kuli. Seorang Cina membawanya ke pulau Bengkalis untuk dipekerjakan sebagai penebang kayu di hutan belantara. Kampeng bertemu dengan mandor-mandor yang galak dan kejam. Untunglah dia bertemu dengan teman senasib anak Cina, Kim San namanya.
Pada suatu hari, ketika Kampeng sedang menebang pohon di hutan, Kim san sakit berat. Tidak seorangpun mau menolong, kecuali kampeng. Hujan turun dengan lebatnya. Seekor harimau besar tiba-tiba muncul dan mengaum menyeramkan. Si Kampeng lari terbirit-birit sambil kepayahan menggendong Kim San yang sakit menuju sebuah los. Demikian Kampeng memasuki pintu los, kepala harimau pun nongol di lubang pintu. Kampeng tak menyia-nyiakan kesempatan, leher harimau itu secepatnya dijepit dengan daun pintu dengan sekuat tenaga yang masih tersisa padanya. Harimau mati setelah berontak meronta-ronta karena lehernya tercekik oleh daun pintu, Kampeng selamat, orang-orang yang berada di sana semuanya memuji keberanian Kampeng.
Serombongan pemeriksa datanglah ke hutan penebang kayu, tempat Kampeng menyandang derita. Kampeng diberi kesempatan melaporkan tentang kehidupan kuli-kuli disana. Akibatnya, banyak mandor kejam yang diberhentikan. Kampeng diperbolehkan keluar dari tempat penebangan kayu, sebagai penghargaanatas laporan yang diberikannya dan karena usia Kampeng yang masih sangat muda.
Pergilah kampeng ke kota Bengkalis. Di sana dia menjadi tukang tembok atas pertolongan Arsim dan Akbar. Kampeng bekerja tekun dan sungguh-sungguh sehingga mendapat kepercayaan majikannya, akibatnya, Kampeng dibawa pindah majikannya ke Padang. Di sana Kampeng bekerja lebih rajin lagi, namun karena Kampeng sangat disayangi majikannya, dia dibenci dan bahkan difitnah oleh pegawai-pegawai lain. Kampeng minta berhenti bekerja di sana. Kampeng memperoleh pekerjaan lain menjadi tukang kayu dan membuat jembatan. Dia tetap bekerja rajin, sungguh-sungguh dan jujur. Majikannya yang baru ini pun menyayanginya pula.
Rasa rindu kampung halaman datang mencekam perasaan Kampeng. Setelah cukup uang tabungannya, dia pulang ke Jawa. Dalam perjalanan pulang ke pulau Jawa, Kampeng mampir belanja di pasar Golodog. Secara kebetulan, dia disana berjumpa dengan Kim San, orang yang pernah ditolongnya ketika sakit di tengah hutan penebangan kayu. Kim San kini telah menjadi seorang pedagang kain. Sebagai tanda terima kasih Kim San pada Kampeng, Kim Sanmemberikan sejumlah kain dan uang.
Kampeng meneruskan perjalanan pulang ke kampung. Pulanglah Kampeng, si anak hilang ke pangkuan ibunya. Betapa bahagia  hati seorang ibu yang menemukan kembali anaknya yang sudah dianggap hilang.

PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986

BUDAK TEUNEUNG

Novel ini karangan Samsudi, cetakan pertama dan kedua dikeluarkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, tanpa tahun dan cetakan ketiga diterbitkan oleh Pusaka Sunda, bandung tahun 1965. buku ini berukuran 17 x 12 cm, dengan tebal 58 halaman.
Novel ini mengungkapkan masalah kehidupan anak-anak dalam sosok yang lebih lengkap. Gambaran Si Warji ditampilkan sebagaimana lazimnya kebanyakan anak-anak seusia dia di kampung-kampung. Novel ini mengandung unsur-unsur pendidikan yang mengetengahkan sifat-sifat kejujuran, kesabaran, dan kesetiaan yang terjalin dalam kehidupan orang desa.

Ringkasan Ceritera
Seorang anak yatim Si Warji namanya. Dia berumur kurang lebih sebelas tahun. Bersama ibunya, dia menempati sebuah rumah kecil yang sudah reyot. Walaupun mereka hidup dalam kemiskinan, ibu Warji tidak pernah kehilangan cinta kasih san selalu menasehati Warji agar menjadi anak yang jujur, penyabar, pemaaf dan mau mengalah demi kebaikan.
Cobaan demi cobaan harus dihadapi Warji dengan tabah. Dia sering mendapat perlakuan yang kurang senonoh hanya lantaran Warji bukan anak orang kaya. Warji dihina, dikucilkan, malahan teraniaya oleh anak-anak lain yang dimanja oleh orang tuanya seperti Si Begu dan Si utun.
Pada suatu ketika, Warji dapat menolong Asep Onon, anak Lurah yang terjerumus ke dalam sebuah sumur kering. Sejak itulah Warji menjadi kawan Asep Onon yang semula membencinya. Sebagai tanda terima kasih atas pertolongan Warji, Pak Lurah mengangkat Warji menjadi penggembala kerbau.
Keluarga Pak Lurah sangat menyayangi Warji, dan Asep Onon menjadi teman akrab Warji. Warji sering diajari membaca dan menulis oleh Asep Onon. Oleh karena Warji rajin dan berotak encer, dalam waktu yang tidak begitu lama dia sudah dapat membaca dan menulis.
Pada suatu hari Asep Onon berkelahi dengan Si Begu dan Si utun. Untunglah Si Warji segera datang sehingga Si Begu dan Si Utun dapat dikalahkan oleh Si Warji.
Setelah bertahun-tahun Warji hidup mengikuti Pak Lurah, akhirnya dia diangkat menjadi salah serang pegawai desa, sedangkan Si Begu dan Si Utun terlanjur nakal kemudian menjadi penjahat.
Kejahatan Si begu dan Si utun baru berhenti setelah Si Warji dengan teuneung dan penuh keberanian menangkap mereka dan menyerahkannya kepada yang berwajib. Sebagai tanda penghargaan. Warji menerima hadiah dari Bapak Lurah.

PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986

BURON

Novel karangan Aam Amalia ini diterbitkan oleh Pustaka Dasentra Bandung, tahun 1983. buku ini berukuran 18 cm x 12 cm, dengan tebal 131 halaman.
Dalam novel ini pengarang mengemukakan masalah ajaran moral dan nilai-nilai pendidikan. Manusia jangan terlalu cepat dalam mengambil tindakan dan jangan membohongi diri sendiri dengan menyebutkan hasil karangan sendiri padahal sebenarnya karya orang lain. Perbuatan ini munafik, yang membuat diri terasa jadi buron dari kehidupan dan dari perasaan sendiri. Novel ini menggambarkan perbandingan kehidupan kota dan kampung.

Ringkasan Ceritera
Kedatangan Bi Umi ke kampung Pa Ulis, menjadi pembicaraan orang, karena Bi Umi disangka gila. Ketika Alan, anak dokter, ikut melihat Bi Umi, Alan luka kakinya, Bi Umi yang disangka gila itu malahan merawat Alan.
Ketika Bi Umi sedang ngobrol dengan Alan, datanglah Pa Ulis, ayah Alan, dan banyak orang lainnya. Bi Umi ditempeleng oleh Pak Ulis dengan tuduhan ia telah mengganggu anak-anak. Namun ayah Alan segera melarangnya.
Bi Umi diberi uang oleh ayah Alan serta ucapan terima kasih telah merawat anaknya. Pa Ulis ingin menukar uang Bi Umi dengan uang yang tidak berlaku. Namun Bi Umi tidak memberikannya sebab dia tidak gila. Alan sendiri sering mengatakan pada temannya bahwa Bi Umi itu tidak gila.
Andika, suami Umi, datang dengan wajah yang sedih akibat naskahnya ditolak redaksi yang menggalkan cita-citanya akan membeli kursi. Namun suatu hari Andika membawa kursi yang mahal serta merahasiakan pada Umi cara mendapatkan uangnya, selain kursi alat rumah tangga lainnya pun dibelinya. Alhirnya Andika memberitahukan pada Umi tentang pekerjaannya, yang disangka toko buku tetapi di dalamnya ganja dan morfin. Dengan kejadian itu Andika mengajak pindah rumah ke desa S di kaki Gunung Galunggung karena ada perasaan takut dikejar polisi dan sindikat.
Naskah karya Andika dari desa S harus Umi antarkan ke kantor surat kabar dan majalah di kota B serta harus diakui sebagai karyanya. Amara dari majalah Wanoja mendesak identitas dan kemampuan Umi sebagai pengarang. Umi pernah diberi undangan menghadiri pertemuan Paguyuban Sastrawan Sunda; Umi tidak menghadiri karena takut dan merasa tidak mampu.
Umi pergi ke kota B lagi mengambil honor. Tiba-tiba ada berita Gunung Galunggung meletus. Segeralah Umi pulang untuk menemui Andika, tetapi Andika sudah tidak ada di rumah.
Umi bergabung dengan para korban Galunggung di barak tempat penampungan korban. Umi pergi ke rumah nenenk Bi Mursih sambil membawa perban dan obat-obatan. Rumah nenek Bi mursih sudah kosong. Sekarang Umi tinggal sendirian
Umi pernah mengejar laki-laki yang mirip dengan suaminya. Laki-laki tersebut lari sambil mengatakan orang gila berulang-ulang pada Umi. Akibatnya, Umi disangka orang gila di kampung itu.
Setela Umi merawat Alan anak dokter, teman-teman Alan mengatakan bahwa Bi Umi tidak gila dan mengundang Bi Umi untuk datang ke rumah dokter. Di sanalah dokter menceritakan bahwa Paguyuban Sastrawan Sunda sudah mengetahui Umi ada di sini dan akan menjemputnya. Banyak orang berkumpul di rumah dokter mau minta maaf pada Umi.
Asmara datang ke rumah dokter untuk menemui Umi dengan membawa surat dari Andika yang isinya mengatakan bahwa di dunia ini penuh dengan kemunafikan dan mereka akan melepaskan diri dari buron kehidupan yang ada dalam perasaannya serta memilih tempat kampung Ck yang merupakan kombinasi keadaan kota dan kampung sebagai tempat tinggal baru.

PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986

CINTA PABALIUT

Novel karangan Eddy D. Iskandar, diterbitkan oleh Pustaka Dasentra, bandung, tahun 1983. buku ini berukuran 18 cm x 12 cm, dengan tebal 79 halaman.
Dalam novel ini, pengarang mengemukakan masalah ajaran moral dan pendidikan. Cinta terhadap kebudayaan dapat timbul akibat cinta kepada pelakunya. Cinta dapat putus daripada putus persahabatan. Cinta dapat membara karena sering berjumpa. Novel ini menggambarkan suasana lingkungansekolah dan lingkungan seni, yang diungkapkan dengan penuh romantis dalam dialog

Ringkasan Ceritera
Jaka jatuh cinta pada Titut Kartasasmita, murid kelas tiga SMA teman sekelasnya. Jaka memuji Titut, tetpi Titut tetap menolak cinta Jaka.
Titut dinasehati oleh ibunya supaya tidak terganggu sekolahnya dan jangan terbawa pergaulan bebas, masalah memilih calon suami pun harus diutamakan keturunan, rajin ibadah, cintanya sejati, serta harta juga harus diperhatikan.
Titut diajak melihat pembacaan sajak oleh Imas, teman sekelasnya. Namun, di perjalanan sepeda motor Imas mogok dan diperbaiki oleh seorang pemuda. Tiba-tiba Titut mulai jatuh cinta pada pemuda itu.
Di tempat parade Panyajak Sunda 1982, Titut semakin tertarik kepada pemuda yang memperbaiki motor itu, Darma Kancana namanya. Titut sempat mengucapkan selamat serta kenalan kepada Darma setelah Darma membacakan sajak. Darma Kencana adalah mahasiswa Fakultas Sastra Sunda yang disenangi teman-temannya, Nia dan Meiske yang cantik pun tertarik pada Darma. Namun Darma tidak meresponnya. Titut dan Imas dapat bertemu lagi dengan Darma di depan pintu bioskop.
Jaka mencoba kesungguhan Titut di kelas, apakah Titut mencintai Jaka atau tidak; kalau Titut tidak mencintai Jaka, yang akan mengalihkan cintanya pada Imas, teman Titut.
Imas dan Titut datang pada acara Pagelaran Seni Sunda Dasentra 1983 dan melihat Darma Kancana tampil dalam acara itu. Titut menyesal tidak mempunyai kesempatan menemui Darma Kancana.
Titut semakin menyenangi kesenian Sunda dan mendapat pujian dari orang tuanya yang menaruh simpati pada seni Sunda. Imas menyenangi seni Sunda sejak kecil sebab ayahnya adalah Pembina Kesenian Tradisional Daerah.
Darma Kancana datang ke rumah Imas untuk menemui Angkawijaya memperbincangkan gending karesmen Sangkuriang kabeurangan.
Titut bertemu dengan Darma Kancana di lapang olahraga dan sempat bertanya. Nia pun dapat berdialog dengan Darma dengan alasan minta diajari mengarang.
Titut berkunjung ke kampung halaman Imas di Neglasari Ciwidey. Tanpa diduga-duga ia dapat bertemu dengan Darma. Titut pernah berbicara berdua dengan darma di sawah. Namun, masalah cinta belum dapat disinggung-singgung.
Kedatangan Darma Kancana ke rumah Imas semakin sering. Semula Imas tidak mempunyai curiga apa-apa. Empat malam Minggu berturut-turut berkunjung pada Imas. Imas pernah diajak menonton dan masuk restoran. Akhirnya Darma terus terang pada Imas melalui surat menyatakan cinta. Imas heran sebab semula Darma ini akan menjadi pacar Titut, walaupun begitu sebenarnya Imas juga cinta kepada Darma. Keputusan Imas lebih baik tidak menerima cinta Darma daripada putus persahabatan dengan Titut; Imas tahu Titut sangat mencintai Darma Kancana.
Jaka yang sudah lama jatuh cinta pada Titut, datang malam Minggu ke rumah Imas minta diantar main ke rumah Titut.
Rasa asmara Jaka yang sudah bergejolak, terhenti ketika mau masuk ke rumah Titut sebab sudah ada pemuda yang baru masuk yaitu Darma. Jaka menyesal dan bingung. Ia pulang kembali bersma Imas dengan membawa rasa kesal.

PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986