Rabu, 02 Juni 2010

LEMBUR SINGKUR

Novel karangan Abdullah Mustappa, diterbitkan oleh Mitra Kancana di Bandung, tahun 1980. buku ini berukuran 17 cm x 12 cm, tbal 59 halaman
Dalam novel ini pengarang mengungkapkan konflik batin para pelaku, terutama pelaku utama “kuring” (aku), yang mengalami cobaan hidup tidak henti-hentinya. Tragedi keluarga itu bermula setelah suami dan ayah mereka pergi ke hutan menjadi anggota gerombolan DI. Namun keluarga itu menghadapinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan.
Novel ini dilatarbelakangi kehidupan masyarakat sebuah kampung terpencil (lembur singkur) yang jauh dari kota yang terus menerus diganggu gerombolan, terutama pada malam hari.
Pengarang bercerita dengan menggunakan gaya aku tentang sebuah keluarga yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan suami/bapaknya karena masuk hutan mengikuti gerombolan. Seorang ibu dan tiga orang anaknya, yaitu Hadi, Ahmad dan kuring sudah sangat mendambakan kembalinya ayah ke rumah, tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang karena meninggal di hutan
Pemilihan dan pengolahan kata-kata yang disusun dalam kalimat-kalimat yang sederhana, mencerminkan kesederhanaan para pelaku dalam novel ini.

Ringkasan Ceritera
Di sebuah kampung yang terpencil dan jauh dari kota, tinggalah sebuah keluarga, yang terdiri atas ibu dan tiga orang anak yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan oleh suami/bapaknya karena ia masuk hutan menjadi anggota gerombolan DI.
Tokoh utama kuring (aku), sudah sangat mendambakan hadirnya seorang ayah di rumah. Tokoh kuring belum pernah mengenal wajah ayahnya karena ketika ia ditinggal pergi ke hutan ia masih bayi. Tokoh kuring sering bertanya tentang ihwal ayahnya, baik kepada ibunya maupun kepada kakaknya, tetapi tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Seorang laki-laki pernah ada secara sembunyi-sembunyi memasuki rumah pada tengah malam, tetapi tokoh kuring tidak mengenalnya. Menurut kakaknya, orang itu adalah ayah mereka.
Oleh karena ulah sang ayah yang menjadi anggota gerombolan, keluarga itu tidak henti-hentinya dirundung malang’ dicurigai tentara, ditahan di markas tentara, dianggap mata-mata, disiksa, dan berbagai penderitaaan lainnya.
Setelah kampung menjadi aman, banyak gerombolan yang turun dari hutan menyerahkan diri kepada tentara. Ibu dan anak-anaknya dibebaskan dari tahanan. Mereka berharap di antara gerombolan yang menyerah itu akan terdapat suami/ayah mereka. Namun setelah mereka bertanya ke sana ke mari, hanya berita kematian saja yang didapatnya.

PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar