Rabu, 02 Juni 2010

NUMBUK DI SUE

Novel karangan Moh. Ambri, diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta. Cetakan ketiga tahun 1964, sedangkan cetakan pertama dan kedua tanpa tahun. Buku ini berukuran 16 cm x 11 cm dan tebal 102 halaman.
Dalam novel ini pengarang mengemukakan sikap para pelaku yang sungguh-sungguh melaksanakan niatnya, meskipun banyak sekali rintangan. Emang sebagai pelaku utama tetap berkeinginan melaksanakan niatnya meskipun ia sering mengalami nasib sial
Pengarang mengungkapkan suasana kehidupan dan keadaan alam yang dialami oleh tiga orang anak remaja, (berumur antara 13 – 16 tahun) dalam perjalanan darat dari Bandung menuju pantai Cilauteureun, Pameungpeuk, garut. Dengan pengamatan yang tajam dan teliti pengarang menggambarkan suasana batin para pelaku dengan hidup dan plastis.

Ringkasan Ceritera
Emang, Momo, dan Dace telah berjanji apabila mereka lulus ujian akan pergi bersama ke pantai Cilauteureun di daerah Garut Selatan. Emang berangkat dari Bandung, sedangkan Momo dari Leles dan Dace dari Cisompet.
Sejak dari Bandung, Emang sudah bernasib sial. Ketika ia jajan sate, uangnya ketinggalan di rumah. Kembalilah ia ke rumah dengan terburu-buru sambil menanggung malu. Demikian pula, ketika ia telah berangkat dari Bandung sesampanya di stasiun Leles, ia ketinggalan bungkusan di kereta api. Untunglah bungkusan itu dapat ditemukannya kembali. Sampailah ia ke rumah Momo, nasib sial pula yang menunggu karena Momo sedang tidak ada di rumah. Rencana pergi ke Cisompet, terpaksa harus diundur tiga hari.
Sebelum berangkat ke Cisompet, Emang dan Momo mampir ke rumah Dace di Garut. Berangkatlah mereka bertiga disertai Marhim pembantu Dace. Dari Garut ke Cikajang mereka naik delman. Dari Cikajang ke Cisompet mereka tmpuh dengan berjalan kaki karena memang tidak ada kendaraan apa pun, meskipun semula Dace telah berjanji bahwa mereka akan dijemput kuda-kuda tunggang. Ternyata naib sial pula yang ditemui mereka, kuda-kuda yang telah dijanjikan itu ternyata sudah dipakai rombongan “dalem” bupati yang mau berburu.
Tiba di Cisompet ternyata keluarga Dace pun sedang tidak ada di rumah. Ayahnya, seorang camat sedang ikut berburu dengan rombongan “dalem”, demikian pula ibunya sedang berada di pesanggrahan. Di rumah itu hanya ada seorang nenek ditemani Tarip seorang opas kecamatan. Sambil menanti datangnya malam dan mengurangi rasa kesal, mereka bermain menuju hutan tempat orang berburu badak. Di hutan itu hampir saja Emang dipatuk ular.
Keesokan harinya mereka merencanakan berangkat ke pantai naik kuda, tetapi kuda-kuda yang dijanjikan itu ternyata belum kembali dari perburuan. Mereka mencoba menunggang kuda lain yang ditangkap oleh opas kecamatan. Nasib sial pula yang didapat karena kuda yang satu masih perlu diajari dan tidak kuat ditunggangi.
Kira-kira pukul lima sore mereka baru sampai di Pameungpeuk setelah menempuh perjalanan jauh melewati hutan dan jalan yang naik turun. Sampailah mereka ke pantai Cilauteureun. Akibat kecapaian dan berbagai kesialan yang telah mereka alami dapat terbayar dengan keindahan ombak yang memecah, berkejaran menyusur pantai. Selepas Isya mereka baru kembali. Di perjalanan perut mereka terasa lapar, bekal telah habis, warungpun tiada karena memang jauh dari kampung.
Pagi harinya Emang dan Momo berpamitan mau pulang. Meskipun pribumi menahannya, tetapi mereka tetap memaksa ingin cepat kembali. Hari masih pagi, pada awal bulan puasa langka tersedia makanan untuk sarapan pagi. Untunglah embok Mandor masih punya nasi sisa yang sudah kering, bubuk ikan asin dan sambal, serta petai yang masih mentah. Makanlah mereka dengan lahapnya, licin tandas dibuatnya.
Di tengah perjalanan perut mereka teras tidak beres, sakit melilit. Semalaman mereka berjalan kaki dari Cisompet ke Cikajang sambil mata kepayahan menahan kantuk. Dari Bayongbong ke Garut mereka naik delman. Di sanalah mereka berpisah.

PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar