Rabu, 02 Juni 2010

PANGERAN NAMPABAYA

Sebuah roman sejarah dikarang oleh Yuhana, diterbitkan oleh Penerbit Dakhlan Bekti pada tahun 1930. ukuran buku lebih kurang 13 cm x 19 cm, terdiri atas 44 halaman, dengan ukuran huruf 10 punt.
Harga perjilid 50 sen. Tersimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land – en Volkenhunde di Leiden. Belanda.

Ringkasan Ceritera
Kota Ciranjang sekarang mula-mula termasuk daerah bandung, tetapi sejak tahun 1902 termasuk wilayah Cianjur. Nama Ciranjang dipakai mulai tahun 1912, karena sebelumnya daerah itu disebut Cihea.
Konon yang mula-mula mendirikan keraton di Cihea adalah raja Majapahit yang bernama Prabu Jaka Susuruh atau Prabu Hariang Banga, yang namanya sering disebut dalam ceritera Pantun Sunda. Raja ini terdesak dari kerajaan Pajajaran, yang dikatakan oleh adiknya sendiri yang bernama Ciung Wanara, dan kemudian mundur dan bertahan di Cihea. Tetapi lama kemudian wilayah-wilayah ini ditinggalkannya. Bekas-bekas kerajaannya seperti keraton, tempat mandi raja, alun-alun, benteng-benteng dan sebagainya, sampai sekarang masih ditemukan di kampung Susuruh di daerah Desa Sukarame sekarang.
Di samping Raja Susuruh, yang pernah menguasai daerah Cihea ini juga seorang keturunan Pajajaran yang bernama Raden Rangga Gading. Bekas-bekas peninggalannya ditemukan di kampung Panghiasan, desa Gunung Halu sekarang, berupa bekas-bekas keraton, pecahan benda-benda dari kaca, piring, dan mangkuk-mangkuk kuno yang diduga buatan Cina. Setelah raja ini meninggalkan Cihea, kurang lebih tahun 1380, daerah itu menghutan kembali.
Pada tahun 1645 ada pendatang baru ke sana, Prabu Cakrakusumah atau Sultan Agung dari Mataram pada waktu itu telah menguasai pesisir utara tanah Sunda dengan Sungai Citarum sebagai batasnya, bagian barat dikuasai Sultan Banten. Penguasaan atas daerah itu sudah berlangsung sejak pendahulu Sultan Agung atau sejak tahun 1585. sultan Agung sebenarnya berkeinginan untuk meluaskan wilayahnya itu ke arah barat, sejalan dengan cita-citanya ingin menguasai seluruh pulau Jawa. Namun, dengan Sultan Banten itu telah berlangsung persahabatan lama.
Sultan Agung kemudian, membuka pemukiman-pemukiman di daerah perbatasan itu untuk mengawasi bupati-bupati Sunda kalau-kalau mereka memberontak. Di samping itu para penghuninya ditugaskan menyiapkan perbekalan hasil bumi.
Sesudah tahun 1645, Sultan Agung mengutus dua orang pembesar yang cakap untuk membuka tanah koloni di sepanjang sungai Citarum ke arah hulu. Kedua pembesar yang terpilih adalah Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya, kakak beradik, yang selanjutnya disebut pangeran karena mereka memang keturunan pangeran, masih kerabat Pangeran Purbaya yang dikisahkan dalam Babad Batawi. Kedua utusan itu berangkat dengan dua orang pengiring yang setia ialah Nayakerta dan Nayakerti. Mereka berangkat dari Mataram melewati daerah Banyumas, Tegal, Cirebon, Sumedang, Parakan Muncang, Majalaya, Ciparay, Manggahang, banjaran, Soreang, Cipatik, dan Batulayang. Di daerah-daerah yang dilewati itu mereka mendapat sambutan bersahabat dan kehormatan. Mereka paling lama tinggal di wilayah Batulayang karena daerah ini adalah batas paling barat wilayah Mataram. Dalem Batulayang terkenal cakap mengurus rakyatnya dan amat disegani.
Pangeran Nurbaya dan Pangeran Lirbaya serta pengiringnya berangkat meninggalkan Batulayang untuk menjalankan perintah Sultan Agung. Selama dalam perjalanan, ia mengetahui bahwa aliran Sungai Citarum sesungguhnya banyak berkelok ke arah timur, yang berarti “menggerogoti” wilayah Mataram. Setelah jauh mengikuti aliran Citarum, melalui Curugagung, Cikalong, dan Leuwiliang maka sampailah ke hutan Cihea. Mereka beristirahat di atas batu besar di tepi sungai. Ketika mereka tertidur, keduanya terhanyutkan banjir yang datang secara tiba-tiba, akhirnya terdampar jauh di hilir. Pangeran Nampabaya dan Pangeran Lirbaya mendapat impian yang sama. Mereka didatangi seorang kakek-kakek yang memberi petunjuk agar kembali ke arah hulu tempat beristirahat tadi.
Dalam rangkaian peristiwa selama perjalanan itulah terjadinya sasakala (cerita asal-muasal) beberapa nama tempat, antara lain kampung Batununggal, Cihea, Pasir Tangkolo, Nyampay, Pangkalan, Batu Tumenggung, kali Cinungnang, dan kampung Pasanggrahan. Kemudian terbentanglah daerah Cihea menjadi negeri yang ramai. Dalem Nampabaya memerintah negeri dengan baik, adil, dan bijaksana. Sebagai patihnya ialah Pangeran Lirbaya.
Dalem Nampabaya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Pangeran Nerangbaya. Ia seorang pemuda cakap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar