Rabu, 02 Juni 2010

NGANTI NGANTI DAWUH

Novel karangan Karna Yudibrata, diterbitkan oleh Tarate di Bandung, tahun 1967, berukuran 18 cm x 13 cm, tebal 38 halaman.
Dalam novel ini, pengarang mengungkapkan masalah keluhuran budi dan kehalusan perasaan, yaitu ketaatan, kesetiaan, dan ketulusan hati serta pengorbanan seorang anak perempuan dalam berbakti kepada orang tuanya yang sakit menahun. Tokoh utama Noneng sangat teguh memegang amanat orang tua, meskipun ia mesti banyak berkorban dan menanggung resiko mnderita selama merawat orang tuanya yang sakit berkepanjangan. Kegetiran, kepahitan dan penderitaan hidup Noneng silih berganti dari hari ke hari. Namun hal ini tetap diterimanya dengan penuh kesabaran dan ketabahan, sambil berusaha keras mencari jalan keluarnya. Novel yang berlatar belakang kehidupan petani desa ini menggambarkan konflok batin yang keras pada diri seorang anak perempuan (Noneng) sebagai pelaku utama anatar kepentingan pribadi yang sudah biasa hidup di kota dan kewajiban merawat orang tua yang bertahun-tahun sakit-sakitan di kampung. Konflik batin pelaku utama menjadi semakin menonjol karena salah seorang saudaranya yang bernama Sudira yang tinggal berdekatan di kampung tidak mau tahu akan keperluan perwatan orang tuanya, malahan ia dengki kepada Noneng dan menunggu saatnya datang warisan sawah dan ladang dari orang tuanya yang masih tetap bertahan hidup.

Ringkasan Ceritera
Bsudah bertahun-tahun Noneng meninggalkan kampung halaman dan orang tuanya, hidup menjanda di kota bersama dengan tiga orang anaknya. Anaknya yang sulung sudah menjadi mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi di kota itu.
Pada suatu hari Noneng menengok orang tuanya di kampung. Akan tetapi ketika ia akan kembali ke kota, orang tuanya meminta dengan sangat agar ia mau tinggal di kampung untuk merawat mereka yang sudah mulai udzur. Meskipun di kampung sebenarnya masih ada kakaknya Noneng, yaitu Sudira, tetapi kedua orang tuanya tetap meminta Noneng untuk sudi merawatnya, karena Sudira acuh tak acuh. Pada mulanya, Noneng menolak dengan halus, karena dia sudah banyak keterikatan di kota, terutama kepentingan sekolah anak-anaknya. Bagaimana pengasuhan dan bimbingan langsung seorang ibu sangat dibutuhkan anak-anaknya. Namun oleh karena ayahnya mendesak terus menerus, akhirnya Noneng mengalah menuruti kehendak orang tuanya . pulanglah Noneng ke kampung.
Pada suatu hari ayah Noneng berpulang ke ramatullah meskipun sebenarnya di luar dugaan Noneng karena yang sakitnya lebih parah justru ibunya, tetapi masih tetap bertahan.
Pada suatu hari, ibunya meninggal dunia. Noneng menerima kematian itu sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Sudira yang juga turut menyaksikan saat-saat ibunya menghembuskan nafas yang terakhir, tidak kuat menahan air mata dan menangis tersedu-sedu, menangis karena pedih dan tersedu karena pilu.

PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar